Film “The Lady” merupakan salah
satu film yang mengangkat sosok perempuan sebagai tokoh utamanya. Perempuan di
dalam film ini digambarkan sebagai sosok yang tangguh tetapi penuh dengan
kelembutan dan kasih sayang. Biasanya, film-film yang mengangkat perempuan
sebagai tokoh utama seringkali dikaitkan dengan tema permasalahan gender, dimana sosok perempuan itu lebih
rendah derajadnya dibandingkan dengan laki-laki. Contoh film Indonesia yang pernah
saya tonton dan mengangkat tema tersebut, yaitu film “Perempuan Berkalung
Sorban” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Ketika menonton kedua film
tersebut, saya dapat melihat dan merasakan perbedaan diantara keduanya. Walaupun
kedua film tersebut sama-sama mengangkat perempuan sebagai tokoh utamanya,
tokoh perempuan itu sendiri digambarkan sangatlah berbeda.
Dalam
film “The Lady”, tokoh perempuannya, yaitu Aung San Suu Kyi digambarkan sebagai
seseorang yang berpengaruh di dalam demokrasi Negara Myanmar. Ia menjadi sosok
pemimpin di negaranya, tetapi tetap tidak melupakan tugas dan kewajibannya
sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Perempuan dalam film ini
diibaratkan sudah “Merdeka”. Merdeka dalam artian ia dapat melakukan apa yang
biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki. Hal ini berbeda dengan penggambaran tokoh
perempuan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”. Tokoh perempuan dalam film
“Perempuan Berkalung Sorban” digambarkan sebagai tokoh yang selalu berada
dibawah laki-laki dalam berbagai hal, seperti pendidikan. Di dalam film
“Perempuan Berkalung Sorban” ini, tokoh perempuan selalu menentang adanya
ketidakadilan dan menuntut adanya kesetaraan gender. Dengan begitu, pengambilan tema tokoh perempuan Aung San Suu Kyi inilah
yang membuat film “The Lady” berbeda dari film-film bertemakan perempuan
lainnya.
Film “The Lady” merupakan film yang diangkat dari kisah yang
menceritakan kehidupan seorang tokoh politik perempuan Myanmar bernama Aung San
Suu Kyi. Kisah mengharukan dan inspiratif dari Suu Kyi menggerakkan Left Bank Company untuk mengangkat
perjalanan hidup Suu Kyi ke layar lebar. Film ini dibuat tanpa sepengetahuan
Aung San Suu Kyi itu sendiri. Left Bank
Company menunjuk Luc Besson, sutradara asal Perancis yang telah banyak
menggarap film-film berkualitas, untuk menangani film ini. Film “The Lady” ini
berdasarkan dari kisah nyata yang pembuatan filmnya berdasarkan pada 17 video
milik jurnalis yang berkait dengan pemberitaan Aung San Suu Kyi. Peran
utama sebagai Suu Kyi jatuh kepada aktris asal Malaysia Michelle Yeoh dan David
Thewlis sebagai Michael Aris, suami Suu Kyi.
Film ini mengambil latar tahun 1947 saat Aung San Suu Kyi masih kecil.
Ia ditinggal mati ayahnya karena Jenderal Aung San bersama tokoh-tokoh lainnya
tewas ditembak oleh tentara pemberontak yang bergerak di bawah rezim militer
yang tidak menginginkan adanya gerakan demokrasi di Myanmar. Setelah dewasa,
Suu Kyi menikah dan hidup bahagia bersama suaminya Michael Aris, seorang dosen
berkebangsaan Inggris, dan dua orang putranya, Alexander Aris dan Kim Aris. Suu
Kyi yang sebelumnya tinggal di luar negeri pun memutuskan untuk kembali ke
Myanmar ketika mendengar kabar bahwa ibunya tengah sakit keras. Saat itu,
Negara Myanmar sedang mengalami gejolak politik. Benturan aparat dengan warga
dan para mahasiswa terjadi dimana-mana bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Di tengah gejolak tersebut, masyarakat yang menginginkan adanya perubahan dalam
pemerintahan Myanmar meminta Suu Kyi putri dari Aung San yang sebelumnya berjuang
untuk mendirikan demokrasi untuk meneruskan perjuangan ayahnya.
Film dengan durasi sekitar 132 menit ini menceritakan bagaimana seorang
Suu Kyi yang terlihat begitu perkasa di mata rakyat Myanmar, ternyata memiliki
cinta dan perjuangan yang sangat besar untuk keluarga kecilnya. Di balik layar
pembuatan film “The Lady” ini, sebagian besar orang-orang pentingnya adalah
kaum laki-laki. Sang sutradara maupun pimpinan kru yang
sebagian besar adalah laki-laki tentu turut mempengaruhi proses pembuatan film
yang disadari maupun tidak dibuat dari sudut pandang mereka sebagai laki-laki
mengenai ketangguhan seorang perempuan. Di dalam film “The Lady” ini, sang
sutradara Luc Besson sering menggambarkan sang tokoh, Aung San Suu Kyi dalam
adegan menangis. Luc Besson mungkin ingin menggambarkan betapa rapuhnya hati
seorang perempuan. Luc Besson juga tak lupa untuk menunjukkan sifat kelembutan
dari seorang perempuan di dalam film ini. Kelembutan dapat terasa saat Aung San
Suu Kyi bersama dengan kedua anaknya.
Pengambilan gambar dalam film ini dilakukan di Negara Myanmar
dan Inggris, tempat dimana Aung San Suu Kyi tinggal bersama dengan keluarga kecilnya. Sang
sutradara pun seringkali memperlihatkan bangunan pura yang indah yang ada di
Negara Myanmar. Hal ini semakin memperlengkap keindahan film “The Lady”. Film
ini sangat mengandung unsur politik. Hal ini disebabkan pengambilan film ini
didasarkan pada keadaan Negara Myanmar 15 tahun silam yang ricuh akibat para
penentang adanya demokrasi di Negara Myanmar. Film ini dengan berani
menggambarkan orang-orang yang ingin
mempertahankan kekuasaannya dan menentang adanya gerakan demokrasi di Negara
Myanmar. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan keji terhadap
mahasiswa dan warga yang menuntut adanya gerakan demokrasi. Tindakan keji
tersebut diperlihatkan dalam film ini dengan adanya adegan penembakan yang
sangat mengerikan. Orang yang tidak bersalah pun dengan enaknya ditembak di
depan umum. Mungkin inilah kenyataan yang pernah terjadi di Negara Myanmar
zaman dulu. Pemerintah hanya disibukkan dengan mencari cara agar
mempertahankkan kekuasaannya sampai-sampai tugas pemerintah yang seharusnya dilakukan
malah terabaikan.
Dengan menonton film “The Lady” ini kita dapat melihat
kehidupan politik Negara Myanmar zaman dulu yang ternyata tidak jauh berbeda
dengan kehidupan politik Indonesia di
zaman Presiden Soeharto. Di Indonesia, Presiden Soeharto juga mempertahankan kekuasaannya
dengan segala cara melalui tentara-tentaranya. Di dalam film “The Lady” ini
digambarkan penyebaran informasi antarwarga dilakukan dari mulut ke mulut
sehingga informasi dapat tersebar luas dengan cepat. Tetapi informasi tersebut sering
kali dapat dengan mudah diketahui oleh mata-mata. Hal ini tentu akan berbeda
dengan zaman sekarang. Penyebaran informasi biasa dilakukan melalui pesan
singkat (sms), maupun teknologi lainnya.
Pemilihan aktor dan aktris dalam film ini sangatlah tepat. Michelle
Yeoh sangat lihai memerankan sosok Aung San Suu Kyi. Bahkan, Michelle Yeoh dapat dibilang
sangatlah mirip dengan Aung San Suu Kyi yang sebenarnya. Kemiripan dapat
terlihat dari tipe wajah dan tubuh diantara keduanya. Dengan sedikit sentuhan make-up terbentuklah duplikat dari sosok
Aung San Suu Kyi
Michelle Yeoh sangat
anggun dan tampil cantik dengan memakai pakaian khas gaya Aung San Suu Kyi. Sang
sutradara pun juga tak lupa untuk menampilkan dan memberikan gaya khas Aung San
Suu Kyi pada sang pemeran utamanya, yaitu rambut yang disanggul
dan dihiasi bunga-bunga anggrek. Detail kecil tersebut tentu tidak boleh
dilupakan dalam menggambarkan sosok Aung San Suu Kyi. Mimik wajah, ekspresi dapat
diperankan oleh Michelle Yeoh dengan sangat baik. Ia tahu kapan
harus berekspresi sedih, bahagia, tertekan. Michelle Yeoh juga berhasil
menampilkan sosok Aung San Suu Kyi yang sangat
keibuan, sayang suami, dan keluarga. Hal tersebut telah tergambar pada beberapa
adegan disaat Aung San Suu kyi bersama dengan keluarga kecilnya. Saat ia
memerankan adegan Aung San Suu Kyi yang ditinggal mati suaminya, Michelle Yeoh
sangatlah memahami perannya dengan baik.
Begitu juga dengan David Thewlis yang berperan sebagai
Michael Aris, suami Suu Kyi. Ia juga sangat lihai dalam memainkan perannya. Ia
dapat menggambarkan sosok suami penyayang yang sangat mencintai istri dan
anak-anaknya. Ia rela melakukan apapun demi sang istri. Di saat sang istri jauh
darinya, ia berusaha untuk menggantikan peran seorang ibu bagai anak-anaknya. Saat
Michael Aris jauh dari Aung San Suu Kyi dan mulai mengidap penyakit, David
Thelwis dengan ahli memerankan sosok Michael seperti orang yang tidak terurus
dan terawat. Peran tersebut juga didukung dengan gaya rambut yang acak-acakan
dan raut wajahnya yang seringkali pucat.
Menurut saya, adegan paling menarik di dalam film ini adalah
ketika Aung San Suu Kyi naik ke atas panggung dan berpidato di depan ribuan
warga Myanmar. Ribuan orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun
muda tunduk dan mendukung pada sosok seorang perempuan yang mereka percaya
dapat membawa perubahan bagi Myanmar. Adegan ini memberi pesan bahwa seorang
perempuan pun sebenarnya juga memiliki kesempatan yang sama sebagai seorang pemimpin.
Seorang pemimpin tidak mesti seorang laki-laki. Zaman telah berubah. Perempuan
derajatnya tidak lagi berada di bawah kaum laki-laki. Perempuan saat ini dapat
mengambil peran yang biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Sedangkan adegan yang paling saya tidak sukai adalah setiap
adegan tembak-tembakan ataupun kekerasan dalam film ini. Sebaiknya, anak-anak
tidak diperbolehkan untuk menonton film ini karena sangat mengandung unsur
kekerasan. Tentara Myanmar digambarkan sangat keji dalam film ini. Untuk
menyingkirkan seekor anjing saja tentara Myanmar dengan enaknya menembak anjing
tersebut. Tetapi ada salah satu adegan yang justru membuat saya “ngakak”. Adegan dimana ada seorang
mahasiswa yang telah ditembak habis-habisan oleh tentara, tetapi mahasiswa
tersebut masih dengan santainya dapat berlari-lari kesana kemari. Mungkin hal
tersebut kurang mendapat perhatian dari sang sutradara.
Penggambaran betapa pentingnya tokoh ayah Aung San Suu Kyi
diperlihatkan pada adegan seseorang memperlihatkan uang yang bergambar Jenderal
Aung San kepada seorang peramal. Di dalam film ini tokoh Aun San Suu Kyi digambarkan
sangat ahli dalam menggunakan bahasa Inggris. Bahkan, tokoh San Suu Kyi sangat
jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan bahasa Myanmar dalam berdialog
tetapi lebih sering untuk menggunakan bahasa Inggris. Film “The Lady” ini
melontarkan tindakan yang berbeda dari biasanya. Hal ini terlihat dari sosok
Aung San Suu Kyi yang berani untuk menjadi seorang perempuan yang pemimpin
suatu negara. Hal ini tentu sangat jarang untuk kita temui dalam kehidupan
sehari-hari. Plot dan alur cerita yang diberikan pun logis dan runtut meskipun
ada adegan flashback. Dengan adanya
keterangan waktu dan tempat di beberapa adegan dalam film ini, penontonpun dapat
dengan mudah memahami alur cerita yang ingin disampaikan.
Saya sangat menyukai sosok Aung San Suu Kyi. Meski belum pernah
melihat secara langsung sosok tersebut, melalui film “The Lady” ini, terlihat
bahwa Aung San Suu Kyi merupakan sosok yang lemah lembut, penuh kasih sayang,
pantang menyerah, tangguh, anggun, dan tentunya sangat menginspirasi bagi perempuan-perempuan
lainnya. Sosok Aung San Suu Kyi sangat tenang terlihat pada adegan saat ia
menghadapi tentara-tentara yang mengancam akan menembaknya. Ia tetap tenang dan
pantang menyerah. Ia berani untuk berada di garis depan. Ia tetap sabar
menjalani kehidupannya. Meskipun ia telah terpilih di dalam pemilu sebagai
pemenang, tetap saja ia dikurung didalam rumahnya selama belasan tahun lamanya.
Sebagai seorang pemimpin perempuan, Aung San Suu Kyi, tidak
mau segala sesuatu diatasi dengan tembak menembak dan kekerasan. Itulah
perbedaannya antara pemimpin laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki
tentunya dapat dengan mudah untuk menggunakan emosinya dalam menghadapi
lawannya, berbeda dengan perempuan. Pemimpin perempuan akan tetap menggunakan
kelembutan dalam menghadapi lawannya.
Dalam film ini, negara Indonesia juga dapat belajar untuk
meratakan demokrasi yang ada di Indonesia seperti halnya yang dilakukan Aung
San Suu Kyi. Untuk menyebarluaskan kehidupan demokrasi yang akan ia usung, ia
rela untuk mengunjungi suku-suku pedalaman yang ada di Myanmar. Ia memberikan
dialog secara langsung dengan mereka dan memberikan gambaran bagaimana
kehidupan demokrasi itu. Dengan begitu, tidak hanya orang-orang yang tinggal di
kota saja yang dapat mengerti dan merasakan dampak dari sebuah demokrasi tetapi
orang-orang pedalaman juga dapat merasakannya. Pada adegan ini, kita dapat
melihat beragam suku-suku yang ada di Myanmar sana. Mereka memiliki kekhasan
masing-masing. Ada yang menggunakan gelang panjang yang dipasang di lehernya.
Ada yang mukanya dilukis-lukis dengan cat hitam. Keberagaman itu tentunya tidak
menyurutkan Aung San Suu Kyi untuk tetap mewujudkan negara demokrasi yang
merata di Myanmar.
Di dalam film ini juga sebenarnya ada makna yang dapat
diambil, yaitu seorang perempuan bisa mengambil peran seorang laki-laki, tetapi
seorang laki-laki belum tentu bisa mengambil peran seorang perempuan. Hal ini
digambarkan pada adegan dimana Aung San Suu Kyi yang biasanya mengatur segala
keperluan keluarganya, ia juga dapat mengambil peran yang biasa dilakukan oleh
laki-laki yaitu memimpin suatu negara. Sedangkan sang suami, saat ia
ditinggalkan oleh Aung San Suu Kyi, ia pun harus berperan sebagai seorang ibu
yang mengurusi anak-anaknya. Ia harus belanja, menyetrika baju, memasak, dan
lain-lain. Tetapi semua tugas itu tidak semuanya bisa ia lakukan, buktinya ia
gagal dalam memasak. Ia harus dibantu saudaranya untuk membuatkan sarapan bagi
anak-anaknya. Di akhir film ini pun tak
lupa ditampilkan kata-kata yang berasal dari Aung San Suu Kyi yang tentunya
sangat menginspirasi, yaitu “Please use your liberty to promote ours”.
Film Aung San Suu Kyi ini sangatlah menginspirasi terutama
bagi kaum perempuan. Film ini berani tampil dengan mengangkat kehidupan Aung
San Suu Kyi. Dalam film ini dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan tak lagi
harus berada di bawah laki-laki tetapi saat ini, perempuan dapat sederajad
dengan kaum laki-laki. Seorang perempuan dapat melakukan dan mengambil peran
seorang laki-laki, tetapi seorang laki-laki belum tentu dapat melakukan dan
mengambil peran seorang perempuan.
Referensi:
Diunduh dari http://www.jagatreview.com/2012/04/potret-ketangguhan-seorang-aung-san-suu-kyi-dalam-the-lady/,
diunduh pada 3 Januari 2013 pukul 10.06 WIB
Tulisan By : Lia Titi Malinda
*Dilarang keras mengcopy paste tanpa seijin penulis