Sabtu, 19 Januari 2013

Uniknya Film “The Bicycle Thieves” Milik Italia


J
ika mau melihat bagaimana gambaran dari gaya neorealisme ala Italia, menonton film “The Bicycle Thieves” merupakan salah satu pilihan yang tepat. Film yang disutradarai oleh Vittorio de Sica ini dibuat pada tahun 1948 pasca perang dunia II dan dikenal sebagai film yang telah mendapatkan banyak penghargaan. Film-film dengan gaya neorealisme biasanya identik dengan gambaran mengenai kemiskinan, ketidakadilan, keputusasaan, pengangguran sesuai dengan kondisi sehari-hari warga Italia pasca perang dunia II. Begitu pula dengan film “The Bicycle Thieves” ini yang juga mengangkat tema-tema tersebut.



Apa yang menarik dan unik dalam film ini? Film “The Bicycle Thieves” menggunakan aktor non profesional dalam filmnya, seperti pemeran tokoh Antonio Ricci yaitu Lamberto Maggiorani, ia adalah seorang pekerja pabrik. Hal ini tentu sangat berbeda dengan film-film buatan Hollywood yang biasanya menampilkan aktor atau aktris ternama agar filmnya laris di pasaran. Pemakaian aktor non profesional dalam film ini sebenarnya ingin memunculkan efek kehidupan yang real, kehidupan yang apa adanya yang terjadi di kehidupan masyarakat Italia pada masa itu. Jadi, si pemain bukan memainkan suatu peran, tetapi ia memang menggambarkan sisi kehidupan mereka sehari-hari. Alur dan ide cerita di dalam film sangatlah simple bahkan sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Selain itu, ending cerita dalam film ini terkesan menggantung. Sepertinya ending cerita tidak terlalu penting untuk digambarkan dalam film ini sehingga membuat para penonton menebak-nebak sendiri apa ending dari film ini.
            Karena film gaya neorealisme ini selalu identik dengan penggambaran kehidupan keseharian yang nyata dan apa adanya, maka untuk memberikan penggambaran real life tersebut film “The Bicycle Thieves” ini menggunakan setting tempat seperti di jalan-jalan, gereja, rumah bukannya di studio. Film ini juga tidak menggunakan setting properti yang berlebihan, tetapi menggunakan properti yang apa adanya. Film Italia pada masa pasca perang dunia II biasanya menggunakan teknik available light yaitu pencahayaan menggunakan sumber cahaya yang ada dan seadanya, maka film “The Bicycle Thieves” ini memang sengaja lebih banyak menceritakan peristiwa pada setting waktu siang hari karena kebutuhan sinar matahari untuk membantu penyinaran objek. Sedangkan suasana yang tergambarkan dalam film ini sebagian besar memberikan efek murung, sedih, keputusasaan. Suasana dalam film ini sangatlah penting untuk menggambarkan bagaimana kehidupan atau kondisi orang-orang Italia dalam menghadapi kemiskinan dan keputusasaan yang melanda mereka.
            Film ini sebenarnya ingin mengatakan “Ini lho Italia pasca perang” dengan menggambarkan potret kehidupan sehari-hari warga Italia pasca perang dunia II yang identik dengan kemiskinan, pengangguran, keputuasaan, dan ketidakadilan. Potret kehidupan ini terlihat pada adegan antrean wanita mengambil air, antrean panjang di tempat pegadaian barang bekas demi kebutuhan uang, anak kecil yang meminta-minta di jalan, bahkan tergambarkan pada tokoh Bruno yang harus rela menghabiskan masa kecilnya untuk bekerja. Kehidupan seperti itulah yang tidak menutup kemungkinan untuk membuat seseorang melakukan tindakan kriminal seperti mencuri. Masalah moralitas ini pun tergambar pada tokoh Antonio yang memutuskan untuk mencuri sepeda ketika ia sudah putus asa tidak bisa menemukan sepedanya yang hilang. Film “The Bicycle Thieves” yang merupakan salah satu film dengan gaya neorealisme Italia ini merupakan film penting pada masanya karena penggambaran neorealisme dalam film tersebut dapat dijadikan sebagai pemicu semangat kebangsaan warga Italia pasca perang dunia II untuk melawan kemiskinan dan ketidakadilan di Italia. Dengan adanya film “The Bicycle Thieves” yang beraliran neorealisme ini, negara-negara lain pun dapat melihat gambaran kondisi yang terjadi di Italia pasca perang. Selain itu, film “The Bicycle Thieves” dengan gaya khas neorealismenya memberikan warna tersendiri bagi perindustrian film di dunia.




Tulisan By : Lia Titi Malinda
*Dilarang keras mengcopy paste tanpa seijin penulis 
 
Referensi :
Diunduh dari http://klubkajianfilmikj.wordpress.com/2009/04/30/neorealisme-menurut-andre-bazin/, diunduh pada 29 Oktober 2012 pukul 05.04 WIB      

Jumat, 18 Januari 2013

Ketangguhan Perempuan dan Bias Gender dalam Film “The Lady”





Film “The Lady” merupakan salah satu film yang mengangkat sosok perempuan sebagai tokoh utamanya. Perempuan di dalam film ini digambarkan sebagai sosok yang tangguh tetapi penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Biasanya, film-film yang mengangkat perempuan sebagai tokoh utama seringkali dikaitkan dengan tema permasalahan gender, dimana sosok perempuan itu lebih rendah derajadnya dibandingkan dengan laki-laki. Contoh film Indonesia yang pernah saya tonton dan mengangkat tema tersebut, yaitu film “Perempuan Berkalung Sorban” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Ketika menonton kedua film tersebut, saya dapat melihat dan merasakan perbedaan diantara keduanya. Walaupun kedua film tersebut sama-sama mengangkat perempuan sebagai tokoh utamanya, tokoh perempuan itu sendiri digambarkan sangatlah berbeda.
Dalam film “The Lady”, tokoh perempuannya, yaitu Aung San Suu Kyi digambarkan sebagai seseorang yang berpengaruh di dalam demokrasi Negara Myanmar. Ia menjadi sosok pemimpin di negaranya, tetapi tetap tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Perempuan dalam film ini diibaratkan sudah “Merdeka”. Merdeka dalam artian ia dapat melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki.  Hal ini berbeda dengan penggambaran tokoh perempuan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”. Tokoh perempuan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” digambarkan sebagai tokoh yang selalu berada dibawah laki-laki dalam berbagai hal, seperti pendidikan. Di dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” ini, tokoh perempuan selalu menentang adanya ketidakadilan dan menuntut adanya kesetaraan gender. Dengan begitu, pengambilan tema tokoh perempuan Aung San Suu Kyi inilah yang membuat film “The Lady” berbeda dari film-film bertemakan perempuan lainnya.
Film “The Lady” merupakan film yang diangkat dari kisah yang menceritakan kehidupan seorang tokoh politik perempuan Myanmar bernama Aung San Suu Kyi. Kisah mengharukan dan inspiratif dari Suu Kyi menggerakkan Left Bank Company untuk mengangkat perjalanan hidup Suu Kyi ke layar lebar. Film ini dibuat tanpa sepengetahuan Aung San Suu Kyi itu sendiri. Left Bank Company menunjuk Luc Besson, sutradara asal Perancis yang telah banyak menggarap film-film berkualitas, untuk menangani film ini. Film “The Lady” ini berdasarkan dari kisah nyata yang pembuatan filmnya berdasarkan pada 17 video milik jurnalis yang berkait dengan pemberitaan Aung San Suu Kyi. Peran utama sebagai Suu Kyi jatuh kepada aktris asal Malaysia Michelle Yeoh dan David Thewlis sebagai Michael Aris, suami Suu Kyi.
Film ini mengambil latar tahun 1947 saat Aung San Suu Kyi masih kecil. Ia ditinggal mati ayahnya karena Jenderal Aung San bersama tokoh-tokoh lainnya tewas ditembak oleh tentara pemberontak yang bergerak di bawah rezim militer yang tidak menginginkan adanya gerakan demokrasi di Myanmar. Setelah dewasa, Suu Kyi menikah dan hidup bahagia bersama suaminya Michael Aris, seorang dosen berkebangsaan Inggris, dan dua orang putranya, Alexander Aris dan Kim Aris. Suu Kyi yang sebelumnya tinggal di luar negeri pun memutuskan untuk kembali ke Myanmar ketika mendengar kabar bahwa ibunya tengah sakit keras. Saat itu, Negara Myanmar sedang mengalami gejolak politik. Benturan aparat dengan warga dan para mahasiswa terjadi dimana-mana bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Di tengah gejolak tersebut, masyarakat yang menginginkan adanya perubahan dalam pemerintahan Myanmar meminta Suu Kyi putri dari Aung San yang sebelumnya berjuang untuk mendirikan demokrasi untuk meneruskan perjuangan ayahnya.
Film dengan durasi sekitar 132 menit ini menceritakan bagaimana seorang Suu Kyi yang terlihat begitu perkasa di mata rakyat Myanmar, ternyata memiliki cinta dan perjuangan yang sangat besar untuk keluarga kecilnya. Di balik layar pembuatan film “The Lady” ini, sebagian besar orang-orang pentingnya adalah kaum laki-laki. Sang sutradara maupun pimpinan kru yang sebagian besar adalah laki-laki tentu turut mempengaruhi proses pembuatan film yang disadari maupun tidak dibuat dari sudut pandang mereka sebagai laki-laki mengenai ketangguhan seorang perempuan. Di dalam film “The Lady” ini, sang sutradara Luc Besson sering menggambarkan sang tokoh, Aung San Suu Kyi dalam adegan menangis. Luc Besson mungkin ingin menggambarkan betapa rapuhnya hati seorang perempuan. Luc Besson juga tak lupa untuk menunjukkan sifat kelembutan dari seorang perempuan di dalam film ini. Kelembutan dapat terasa saat Aung San Suu Kyi bersama dengan kedua anaknya.
Pengambilan gambar dalam film ini dilakukan di Negara Myanmar dan Inggris, tempat dimana Aung San Suu Kyi tinggal bersama dengan keluarga kecilnya. Sang sutradara pun seringkali memperlihatkan bangunan pura yang indah yang ada di Negara Myanmar. Hal ini semakin memperlengkap keindahan film “The Lady”. Film ini sangat mengandung unsur politik. Hal ini disebabkan pengambilan film ini didasarkan pada keadaan Negara Myanmar 15 tahun silam yang ricuh akibat para penentang adanya demokrasi di Negara Myanmar. Film ini dengan berani menggambarkan  orang-orang yang ingin mempertahankan kekuasaannya dan menentang adanya gerakan demokrasi di Negara Myanmar. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan keji terhadap mahasiswa dan warga yang menuntut adanya gerakan demokrasi. Tindakan keji tersebut diperlihatkan dalam film ini dengan adanya adegan penembakan yang sangat mengerikan. Orang yang tidak bersalah pun dengan enaknya ditembak di depan umum. Mungkin inilah kenyataan yang pernah terjadi di Negara Myanmar zaman dulu. Pemerintah hanya disibukkan dengan mencari cara agar mempertahankkan kekuasaannya sampai-sampai  tugas pemerintah yang seharusnya dilakukan malah terabaikan.  
Dengan menonton film “The Lady” ini kita dapat melihat kehidupan politik Negara Myanmar zaman dulu yang ternyata tidak jauh berbeda dengan kehidupan politik  Indonesia di zaman Presiden Soeharto. Di Indonesia, Presiden Soeharto juga mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara melalui tentara-tentaranya. Di dalam film “The Lady” ini digambarkan penyebaran informasi antarwarga dilakukan dari mulut ke mulut sehingga informasi dapat tersebar luas dengan cepat. Tetapi informasi tersebut sering kali dapat dengan mudah diketahui oleh mata-mata. Hal ini tentu akan berbeda dengan zaman sekarang. Penyebaran informasi biasa dilakukan melalui pesan singkat (sms), maupun teknologi lainnya.
Pemilihan aktor dan aktris dalam film ini sangatlah tepat. Michelle Yeoh sangat lihai memerankan sosok Aung San Suu Kyi. Bahkan, Michelle Yeoh dapat dibilang sangatlah mirip dengan Aung San Suu Kyi yang sebenarnya. Kemiripan dapat terlihat dari tipe wajah dan tubuh diantara keduanya. Dengan sedikit sentuhan make-up terbentuklah duplikat dari sosok Aung San Suu Kyi
 Michelle Yeoh sangat anggun dan tampil cantik dengan memakai pakaian khas gaya Aung San Suu Kyi. Sang sutradara pun juga tak lupa untuk menampilkan dan memberikan gaya khas Aung San Suu Kyi pada sang pemeran utamanya, yaitu rambut yang disanggul dan dihiasi bunga-bunga anggrek. Detail kecil tersebut tentu tidak boleh dilupakan dalam menggambarkan sosok Aung San Suu Kyi. Mimik wajah, ekspresi dapat diperankan oleh Michelle Yeoh dengan sangat baik. Ia tahu kapan harus berekspresi sedih, bahagia, tertekan. Michelle Yeoh juga berhasil menampilkan sosok  Aung San Suu Kyi yang sangat keibuan, sayang suami, dan keluarga. Hal tersebut telah tergambar pada beberapa adegan disaat Aung San Suu kyi bersama dengan keluarga kecilnya. Saat ia memerankan adegan Aung San Suu Kyi yang ditinggal mati suaminya, Michelle Yeoh sangatlah memahami perannya dengan baik.
Begitu juga dengan David Thewlis yang berperan sebagai Michael Aris, suami Suu Kyi. Ia juga sangat lihai dalam memainkan perannya. Ia dapat menggambarkan sosok suami penyayang yang sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Ia rela melakukan apapun demi sang istri. Di saat sang istri jauh darinya, ia berusaha untuk menggantikan peran seorang ibu bagai anak-anaknya. Saat Michael Aris jauh dari Aung San Suu Kyi dan mulai mengidap penyakit, David Thelwis dengan ahli memerankan sosok Michael seperti orang yang tidak terurus dan terawat. Peran tersebut juga didukung dengan gaya rambut yang acak-acakan dan raut wajahnya yang seringkali pucat.  
Menurut saya, adegan paling menarik di dalam film ini adalah ketika Aung San Suu Kyi naik ke atas panggung dan berpidato di depan ribuan warga Myanmar. Ribuan orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda tunduk dan mendukung pada sosok seorang perempuan yang mereka percaya dapat membawa perubahan bagi Myanmar. Adegan ini memberi pesan bahwa seorang perempuan pun sebenarnya juga memiliki kesempatan yang sama sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin tidak mesti seorang laki-laki. Zaman telah berubah. Perempuan derajatnya tidak lagi berada di bawah kaum laki-laki. Perempuan saat ini dapat mengambil peran yang biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Sedangkan adegan yang paling saya tidak sukai adalah setiap adegan tembak-tembakan ataupun kekerasan dalam film ini. Sebaiknya, anak-anak tidak diperbolehkan untuk menonton film ini karena sangat mengandung unsur kekerasan. Tentara Myanmar digambarkan sangat keji dalam film ini. Untuk menyingkirkan seekor anjing saja tentara Myanmar dengan enaknya menembak anjing tersebut. Tetapi ada salah satu adegan yang justru membuat saya “ngakak”. Adegan dimana ada seorang mahasiswa yang telah ditembak habis-habisan oleh tentara, tetapi mahasiswa tersebut masih dengan santainya dapat berlari-lari kesana kemari. Mungkin hal tersebut kurang mendapat perhatian dari sang sutradara.
Penggambaran betapa pentingnya tokoh ayah Aung San Suu Kyi diperlihatkan pada adegan seseorang memperlihatkan uang yang bergambar Jenderal Aung San kepada seorang peramal. Di dalam film ini tokoh Aun San Suu Kyi digambarkan sangat ahli dalam menggunakan bahasa Inggris. Bahkan, tokoh San Suu Kyi sangat jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan bahasa Myanmar dalam berdialog tetapi lebih sering untuk menggunakan bahasa Inggris. Film “The Lady” ini melontarkan tindakan yang berbeda dari biasanya. Hal ini terlihat dari sosok Aung San Suu Kyi yang berani untuk menjadi seorang perempuan yang pemimpin suatu negara. Hal ini tentu sangat jarang untuk kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Plot dan alur cerita yang diberikan pun logis dan runtut meskipun ada adegan flashback. Dengan adanya keterangan waktu dan tempat di beberapa adegan dalam film ini, penontonpun dapat dengan mudah memahami alur cerita yang ingin disampaikan.
Saya sangat menyukai sosok Aung San Suu Kyi. Meski belum pernah melihat secara langsung sosok tersebut, melalui film “The Lady” ini, terlihat bahwa Aung San Suu Kyi merupakan sosok yang lemah lembut, penuh kasih sayang, pantang menyerah, tangguh, anggun, dan tentunya sangat menginspirasi bagi perempuan-perempuan lainnya. Sosok Aung San Suu Kyi sangat tenang terlihat pada adegan saat ia menghadapi tentara-tentara yang mengancam akan menembaknya. Ia tetap tenang dan pantang menyerah. Ia berani untuk berada di garis depan. Ia tetap sabar menjalani kehidupannya. Meskipun ia telah terpilih di dalam pemilu sebagai pemenang, tetap saja ia dikurung didalam rumahnya selama belasan tahun lamanya.
Sebagai seorang pemimpin perempuan, Aung San Suu Kyi, tidak mau segala sesuatu diatasi dengan tembak menembak dan kekerasan. Itulah perbedaannya antara pemimpin laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki tentunya dapat dengan mudah untuk menggunakan emosinya dalam menghadapi lawannya, berbeda dengan perempuan. Pemimpin perempuan akan tetap menggunakan kelembutan dalam menghadapi lawannya.
Dalam film ini, negara Indonesia juga dapat belajar untuk meratakan demokrasi yang ada di Indonesia seperti halnya yang dilakukan Aung San Suu Kyi. Untuk menyebarluaskan kehidupan demokrasi yang akan ia usung, ia rela untuk mengunjungi suku-suku pedalaman yang ada di Myanmar. Ia memberikan dialog secara langsung dengan mereka dan memberikan gambaran bagaimana kehidupan demokrasi itu. Dengan begitu, tidak hanya orang-orang yang tinggal di kota saja yang dapat mengerti dan merasakan dampak dari sebuah demokrasi tetapi orang-orang pedalaman juga dapat merasakannya. Pada adegan ini, kita dapat melihat beragam suku-suku yang ada di Myanmar sana. Mereka memiliki kekhasan masing-masing. Ada yang menggunakan gelang panjang yang dipasang di lehernya. Ada yang mukanya dilukis-lukis dengan cat hitam. Keberagaman itu tentunya tidak menyurutkan Aung San Suu Kyi untuk tetap mewujudkan negara demokrasi yang merata di Myanmar.
Di dalam film ini juga sebenarnya ada makna yang dapat diambil, yaitu seorang perempuan bisa mengambil peran seorang laki-laki, tetapi seorang laki-laki belum tentu bisa mengambil peran seorang perempuan. Hal ini digambarkan pada adegan dimana Aung San Suu Kyi yang biasanya mengatur segala keperluan keluarganya, ia juga dapat mengambil peran yang biasa dilakukan oleh laki-laki yaitu memimpin suatu negara. Sedangkan sang suami, saat ia ditinggalkan oleh Aung San Suu Kyi, ia pun harus berperan sebagai seorang ibu yang mengurusi anak-anaknya. Ia harus belanja, menyetrika baju, memasak, dan lain-lain. Tetapi semua tugas itu tidak semuanya bisa ia lakukan, buktinya ia gagal dalam memasak. Ia harus dibantu saudaranya untuk membuatkan sarapan bagi anak-anaknya.  Di akhir film ini pun tak lupa ditampilkan kata-kata yang berasal dari Aung San Suu Kyi yang tentunya sangat menginspirasi, yaitu “Please use your liberty to promote ours”.
Film Aung San Suu Kyi ini sangatlah menginspirasi terutama bagi kaum perempuan. Film ini berani tampil dengan mengangkat kehidupan Aung San Suu Kyi. Dalam film ini dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan tak lagi harus berada di bawah laki-laki tetapi saat ini, perempuan dapat sederajad dengan kaum laki-laki. Seorang perempuan dapat melakukan dan mengambil peran seorang laki-laki, tetapi seorang laki-laki belum tentu dapat melakukan dan mengambil peran seorang perempuan.


  

Referensi:
Diunduh dari http://www.jagatreview.com/2012/04/potret-ketangguhan-seorang-aung-san-suu-kyi-dalam-the-lady/, diunduh pada 3 Januari 2013 pukul 10.06 WIB

Tulisan By : Lia Titi Malinda
*Dilarang keras mengcopy paste tanpa seijin penulis

Keberanian Film ‘?’ dengan Pluralismenya



Judul Film : ‘?’ : Masih Pentingkah Kita Berbeda 
Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis Skenario : Titien Wattimena
Pemain : Reza Rahardian, Revalina S. Temat, Endhita,    Rio Dewanto, Agus Kuncoro, Hengky Solaiman
Tahun rilis : 2011  



Film yang berlatar belakang pluralisme agama yang ada di Indonesia sangatlah jarang kita temukan. Tetapi disini sutradara berbakat, Hanung Bramantyo berani untuk mengangkat tema pluralisme agama di dalam filmnya yang berjudul ‘?’ : Masih Pentingkah Kita Berbeda. Film besutan tahun 2011 silam ini, mengangkat tema pluralisme agama dan mengajak para penontonnya untuk berfikir apakah saat ini masih penting untuk kita mempersoalkan perbedaan agama yang ada di Indonesia? Meski berbeda-beda, kita tetap harus bertoleransi satu sama lain dan kita sama-sama menuju ke satu tujuan yang sama.

            Film ‘?’ bersettingkan Kota Semarang, Jawa Tengah dan menggambarkan realitas sosial yang benar-benar terjadi di kalangan masyarakat menggambarkan bahwa begitu beragamnya bangsa Indonesia ini. Pemilihan latarnya sangatlah tepat untuk menunjukkan kepada kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita harus berhadapan dengan etnis atau suku lain. Pengambilan setting waktu dari awal tahun 2010 hingga awal tahun 2011 ini juga sudah cukup menjelaskan toleransi beragama dan permasalahan yang ingin diungkapkan oleh Hanung dengan digambarkannya waktu perayaan paskah, perayaan idul fitri, perayaan natal, dan juga tahun baru 2011.

            Para pemain dalam film ini pun berasal dari aktor dan aktris yang memang sering wara-wiri dalam dunia perfilman seperti Reza Rahardian, Revalina S. Temat, Endhita, dan masih banyak lagi. Mereka berakting sangat apik dalam film ini sehingga dengan menonton film ini kita mendapatkan feel gambaran kondisi sosial perbedaan antar etnis yang sering terjadi. Konflik yang sering terjadi misalnya pertentangan antar suku, yaitu suku Jawa dan suku Cina yang ada di Indonesia dengan digambarkan pada sosok Hendra yang merupakan keturunan Cina bersitegang dengan pemuda-pemuda suku Jawa yang beragama Islam, lalu permasalahan lain perbedaan agama yang seringkali menimbulkan konflik juga diangkat dalam film dengan durasi 1 jam 41 menit ini.

            Kita dapat mengambil satu cuplikan adegan dimana pemilik restoran makan cina, Tan Kat Sun, memperkerjakan pekerja-pekerjanya yang beragama Islam. Tan Kat Sun pun selalu memberikan kesempatan pekerjanya untuk melaksanakan ibadah sholat 5 waktu bahkan malah seringkali mengingatkan pekerjanya untuk sholat. Selain itu, untuk menghargai bulan puasa yang dilakukan oleh umat Islam, sang pemilik restoran selalu menutup tokonya dengan kain. Adegan tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan adanya toleransi beragama yang ada di Indonesia.
            Hanung Bramantyo sendiri juga berani untuk menggambarkan dua tokohnya yang berpindah agama. Hal ini tentu merupakan isu yang sangat sensitif jika diangkat kedalam sebuah film. Meski sang sutradara beragama Islam, tetapi Hanung Bramantyo tidak hanya menggambarkan film ‘?’ ini melalui sudut pandang Islam saja. Film ini berhasil untuk digambarkan melalui sudut pandang berbagai agama yang ada di Indonesia. Hanung juga menggambarkan banyak adegan dimana permasalahan yang timbul dari prasangka etnis semata apalagi ditambah dengan prasangka yang berangkat dari masalah pribadi akan merugikan pihak lain atau bahkan diri sendiri, contohnya pada adegan tokoh Soleh yang dibakar api cemburu pada tokoh Hendra sehingga ia melakukan pengrusakan bersama warga lainnya pada restoran Cina milik keluarga Hendra.
            Film ini telah berhasil menggambarkan pluralisme yang terjadi di Indonesia secara sederhana tetapi dapat langsung tepat pada sasaran. Dengan menonton film ini, kita dapat melihat potret kehidupan sosial beserta konfliknya yang menyangkut dengan perbedaan etnis bahkan seringkali kita tidak menyadari konflik-konflik tersebut terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Setelah menonton film ini kita diharapkan dapat cerdas dan berfikir kritis dalam mengambil sisi positif dari keberagaman etnis agama yang ada di Indonesia dan tidak mempersalahkan lagi perbedaan agama yang ada di sekitar kita.

Tulisan By : Lia Titi Malinda
*Dilarang keras mengcopy paste tanpa seijin penulis